Kamis, 26 Maret 2009

MENGENAL POTENSI LAMTORO HIBRIDA F1 SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN TERNAK

Lamtoro(Lucaena leuchocephala) merupakan tanaman legume pohon serba guna, berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat petani di Nusa Tenggara Barat. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Sebagian masyarakat memanfaatkan buah dan daun muda untuk sayur. Daunnya dipergunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dimanfaatkan sebagai ramuan rumah dan kayu bakar.

Lamtoro mempunyai sistem perakaran yang dalam dan berumur panjang, mencapai 50 tahunan sehingga sangat cocok dipergunakan sebagai tanaman pagar dan pelidung karena tidak menggangu pada tanaman pokok, menghemat biaya dan tenaga dari pembuatan pagar berulang-ulang. Perakaran yang dalam juga menyebabkan lamtoro sangat tahan kekeringan dan tetap hijau dan bertunas selama musim kering, sehingga sangat cocok sebagai sumber hijauan pakan ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba.

Sebagai pakan ternak, lamtoro mempunyai kualitas yang tinggi dan relatif sama dengan jenis legum pohon lainnya seperti Turi (Sesbania grandiflora), Gamal (Gliricidia sepium) dan Kaliandra (Calliandra calotthyrsus). Produksi hijauannya cukup tinggi bervariasi sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, jarak tanam dan curah hujan. Daun dan batang muda sangat disukai ternak. Kandungan protein, mineral, dan asam amino yang seimbang, mempunyai serat kasar yang relatif sedikit dan kandungan tanin yang rendah. Kandungan tanin rendah (CT 6%) memberikan nilai tambah, dibandingkan legume pohon yang lain karena dapat berfungsi melindungi perombakan protein yang berlebihan di dalam rumen (by-pass protein) sehinga jumlah protein yang dapat diserap (retensi N) di usus halus lebih tinggi. Pemberian lamtoro sebagai suplement terhadap pakan yang berkualitas rendah seperti rumput kering, sisa hasil pertanian dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan dari pakan berkualitas rendah, hal ini disebabkan karena lamtoro dapat mencukupi kebutuhan mikrobia rumen untuk hidup dan melakukan aktifitasnya di dalam rumen.

Namun demikian keunggulan lamtoro tersebut menjadi tidak berarti dengan terjadinya serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana Crawford) pada awal tahun 1980an yang menghisap batang muda dan menyebabkan tanaman menghitam dengan kerusakan daun mencapai 95%. Pada tingkat serangan berat menyebabkan laju pertumbuhan tanaman berhenti dan mati. Palmer et al. (1989) melaporkan pada beberapa daerah di Indonesia timur serangan kutu loncat menurunkan produksi hijauan sampai 38%. Introduksi predator pemangsa kutu loncat yang dilakukan sejak terjadinya serangan kutu loncat hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini menyebabkan penyebaran lamtoro sebagai tanaman serbaguna menurun dan sebagian masyarakat menemukan tanaman lamtoro yang terserang kutu loncat kurang disukai ternak.

Serangan kutu loncat umumnya terjadi pada pertengahan dan akhir musim hujan dimana temperatur dan kelembaban udara memungkinkan kutu loncat berbiak dengan cepat. Siklus hidup kutu loncat dari telur sampai dewasa berkisar antara 10-20 hari dan populasinya dapat berkembang menjadi dua kali lipat dalam tiga hari, namun pada temperatur 330 C ke atas perkembangbiakannya terhambat dan daya rusaknya terhadap daun berkurang (Mullen et al., 1998).

Tingginya serangan kutu loncat pada tanaman lamtoro disebabkan oleh rendahnya variasi tanaman lamtoro yang dibudidayakan. Pada umumnya lamtoro yang dikembangkan berasal dari satu species, L. leucochepala, yang tidak jarang diperbanyak dari satu tanaman induk. Genus Leucaena sedikitnya terdiri dari 22 species, 6 sub species dan 2 hibrida alami (Hughes, 1998). Lamtoro merupakan tanaman yang dapat melakukan penyerbukan sendiri sehingga sangat miskin terhadap variasi genetik. Hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya serangan kutu loncat secara merata. Insekta ini tidak membutuhkan adaptasi sebelum menyerang inangnya karena inangnya merupakan lamtoro yang secara genetik sama.

Persilangan merupakan alternatif yang dapat mengembalikan potensi lamtoro sebagai tanaman serbaguna. Uji coba persilangan sudah banyak dilakukan dengan mengawinkan jenis lamtoro yang tahan terhadap serangan kutu loncat seperti L. pallida, L. difersifolia, L. collinsi dll dengan L. leucocephala. Lamtoro hibrida KX2 F1 merupakan salah satu lamtoro jenis baru yang dikembangkan oleh Charles Sorensson dari Universitas Hawai merupakan turunan dari L. leucocephala K363 x L. pallida K748 yang dapat beradaptasi terhadap berbagai iklim dan jenis tanah kecuali tanah dengan tingkat keasaman tinggi, tahan terhadap kutu loncat dan produksi biomass tinggi. KX2 ini sangat potensial dikembangkan sebagai tanaman legume serba guna pengganti lamtoro yang tidak tahan terhadap kutu loncat.

KX2 mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan tanaman lamtoro (L. leucocephala) antara lain; tahan terhadap serangan kutu loncat, hasil pengamatan di kebun percobaan BPTP NTB Sandubaya pada bulan Februari 2002, tanaman ini menunjukkan tingkat serangan dengan score kurang dari satu sementara lamtoro lokal menderita serangan sedang dengan score berkisar 3-4 (Score 1-9). Serangan padatingkat sedang jika tidak diatasi dapat menurunkan produksi hijauan lebih dari 50% (Mullen et al., 1998).

Tingkat pertumbuhan tinggi, hasil pengamatan di kebun percobaan BPTP NTB, KX2 pada umur 4 bulan (Juni 2002) rata-rata tinggi tanaman mencapai 3,5 meter. Tingkat ketahanan terhadap kutu loncat kelihatannya memberikan pengaruh positip terhadap pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi membuat tanaman lamtoro KX2 sangat cocok digunakan sebagai tanaman pagar, karena dalam waktu relatif singkat diharapkan dapat membentuk pagar yang kokoh.

Produksi biji rendah dan steril, salah satu faktor penghambat perluasan pemanfaatan lamtoro selama ini adalah potensinya yang sangat besar sebagai gulma. Pada umumnya lamtoro merupakan tanaman penghasil biji yang sangat banyak sehingga cenderung mengganggu lahan pertanian yang dikelola secara intensif. Lamtoro KX2 cenderung tidak berbiji dan jika ada cenderung steril sehingga dipastikan tidak akan menggangu lahan pertanian yang dikelola secara intensif. Dengan luas pemilikan lahan yang sangat kecil dan pengelolaan yang intensif integrasi tanaman lamtoro KX2 pada sistem usahatani yang dapat memberikan nilai tambah yang cukup signifikan.

Produksi hijauan KX2 dapat mencapai empat kali lebih tinggi dari tanaman lamtoro biasa (Brewbaker dan Sun, 1996) pada tingkat serangan sedang. Produksi biomas yang tinggi dan stabil sepanjang tahun dilaporkan oleh Gabunada dan Stur (1998). Produksi hijauan yang tinggi selain dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk hijau terlebih lagi sebagai sumber pakan ternak. Produksi hijauan yang tinggi dan stabil merupakan salah satu keunggulannya dalam hal penyediaan hijauan pakan yang secara langsung dapat menurunkan tingkat kesulitan petani mencari pakan terutama pada musim kering. KX2 juga dilaporkan tahan terhadap pemangkasan yang teratur dengan tingkat kematian kurang dari 5%. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa KX2 merupakan tanaman yang cocok dan potensial sebagai penyedia hijauan pakan (Mullen dan Shelton, 1998).

Sebagai sumber pakan KX2 mempunyai kandungan protein kasar (PK) 31% , tingkat kecernaan invitro (IVDMD) 61%, Neutral Detergent Fibre (NDF) 19% dan kandungan tanin yang dapat diekstraksi (extractable CT) 4.1% (Shelton, 1998). Kandungan tanin yang lebih rendah dibandingkan lamtoro biasa merupakan salah satu keunggulan KX2 yang dapat meningkatkan optimasi penyerapan protein (N retensi) pada usus halus. Uji palatabilitas di Australia, Philipina, dan Honduras pada ternak sapi menunjukkan bahwa KX2 sangat palatabel atau disukai ternak (Faint et al., 1998).

Pengembangbiakan merupakan kendala penyebaran KX2 dimana sebagian besar biji yang dihasilkan adalah steril. Alternatif penyebaran yang dapat dilakukan di tingkat petani adalah dengan melakukan pembiakan vegetatif menggunakan stek, namun tingkat keberhasilan stek sangat bervariasi. Hasil sementara di kebun percobaan BPTP NTB di Sandubaya masih relatif rendah (<28%),

oleh : Tanda Sahat Panjaitan(BPTP NTB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda